Kelindan media dan politik di Indonesia seolah tak terhindarkan. Riset membuktikan, ada pemakluman terhadap fenomena ini, yang sebenarnya merugikan baik bagi sektor media maupun politik sendiri.
[DN] – Kurang dari dua bulan lagi, Pemilu untuk presiden dan legislatif akan diselenggarakan. Laksana lomba lari, setiap pihak yang bertarung berpacu dengan waktu untuk memperkenalkan diri. Dalam rentang waktu seperti inilah, pergulatan media dan politik menyita perhatian.Di Lampung misalnya, muncul kecenderungan pengelola media dan politisi yang saling memanfaatkan. Edi Arsadad, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung mengakui ini menjadi salah satu “musim panen”. Ada beberapa skema yang biasa dijalin seperti pemasangan iklan, publikasi tulisan iklan tersamar, hingga yang lebih dalam dengan keikutsertaan jurnalis dalam tim pemenangan calon, atau bahkan menjadi Calon Legislatif (Caleg) itu sendiri.
“Kita memantau terus teman-teman yang tergabung di IWO seluruh kabupaten di Lampung ini. Saya sebagai ketua provinsi terus menyarankan teman-teman untuk independen, untuk tidak masuk dalam ranah politik. Kami minta teman-teman wartawan yang ikut dalam tim sukses atau mencalonkan diri untuk mundur dari dunia jurnalistik,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Tapi itu tidak mudah. Kata Edi, media daring tumbuh begitu cepat di Lampung karena begitu mudahnya membuat media baru. Proses rekrutmen jurnalis juga belum cukup baik. Ekosistem yang tidak sehat, mendorong sebagian jurnalis dekat atau mendekatkan diri dengan politisi. Ada bahkan media yang daring yang dibuat oleh pengurus partai, dan kemudian dikelola para jurnalis.
Di Nusa Tenggara Timur, Fabi Latuan juga mengisahkan cerita serupa.
“Dari keseharian itu, teman-teman ini kan banyak yang pengurus partai. Jurnalis juga pengurus partai, jadi kiblatnya sesuai partai yang dia jadi pengurus. Harusnya enggak boleh. Tapi rata-rata seperti itu. Bahkan banyak sekali jadi Caleg. Sudah pasti menulis tentang dirinya atau partainya sendiri,” ujar jurnalis di Koran Timor ini.
Fabi adalah Ketua Komunitas Wartawan Peduli Pembangunan, yang kerap mempertanyakan praktik semacam ini. Namun, situasinya terlalu sulit, terutama karena para jurnalis ini beraktivitas di media daring lokal yang dikelo mandiri. Lain cerita dengan jurnalis yang bekerja di media-media lokal besar atau media nasional, yang harus mengikuti aturan dan biasanya mengundurkan diri jika terjun ke politik.
Ini bukan fenomena baru, tetapi belakanan kondisinya semakin memprihatinkan. Tidak jarang, terjadi friksi di kalangan jurnalis sendiri, jika ada laporan yang menyudutkan partai atau calon tertentu. Bukan politisi yang protes kepada jurnalis bersangkutan, tetapi justru sesama jurnalis di lapangan, dengan alasan kedekatan pada salah satu partai, tambah Fabi.
Cerita-cerita di media-media daerah semacam itu hanya gambaran kecil, bagaimana media dan politik saling jerat dalam kepentingan bersama. Namun, kelindan yang jauh lebih besar terjadi secara terbuka di tingkat nasional, dan sejauh ini seolah diterima sebagai sebuah kenyataan.
Guru besar komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Masduki belum lama mempublikasikan hasil riset, yang dilakukan lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2 Media). Masduki adalah direktur di lembaga tersebut.
Masduki mengatakan, Hary Tanoesoedibjo di MNC Group dan Surya Paloh di Media Grup, adalah contoh paling besar untuk menjelaskan fenomena ini. Semestinya, kata dia, jika media tidak bisa mengambil jarak dari politik, status itu dideklarasikan.
“Kalau ada pemilik media, yang pada saat yang sama menjadi caleg, atau menjadi ketua partai, atau juga mungkin kepala daerah, maka dia harus melakukan deklarasi, atau disclaimer, ini yang paling gampang,” kata Masduki.
Dalam kasus MNC Group dan Media Group, seharusnya ada pernyataan terbuka bahwa media-media di bawah keduanya, terafiliasi dengan partai A atau partai B, lanjut Masduki.
“Silahkan masyarakat yang mengambil sikap. Kita, sebagai pemilih,” tambahnya.
Langkah ini, sebagai upaya transparansi infomasi dan transparansi kerja jurnalistik dianggap sebagai jalan tengah. Pilihan terbaik adalah pemisahan yang jelas, yang dimulai dari kesadaran, bahwa partai politik yang baik adalah partai yang steril dari afiliasia ke media. Apalagi, regulator dan organisasi media di Indonesia berulangkali menyatakan untuk menganut prinsip independen, obyektif, dan imparsial. Dalam kaitan dengan politik, salah satu syaratnya adalah ada pemisahan jelas struktur politik mulai dari pemilik sampai jurnalisnya.
Secara teori, hubungan media dan politik memiliki sejumlah bentuk. Dalam sejarahnya, di Indonesia partai politik pernah memiliki media resmi, seperti yang terjadi di era 1950-an. Bahkan hingga akhir era Orde Baru, Golkar memiliki koran Suara Karya. Di bidang penyiaran, praktik ini tidak diperbolehkan bahkan secara internasional karena frekuensi adalah milik publik.
Masduki mengungkap, ada juga model komersial partisan, media yang dimiliki kelompok usaha mandiri tetapi menyatakan diri mendukung partai tertentu.