Pengamat: PPN 12 Persen untuk Barang Mewah Tidak Berdampak Signifikan terhadap Penerimaan Negara

  • Whatsapp
FILE - Toko yang menjual sepatu dan tas mewah di pusat perbelanjaan di Jakarta, 29 Februari 2012. (Enny Nuraheni/REUTERS)

Sejumlah pengamat menilai, keputusan pemerintah yang hanya akan menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen secara selektif terhadap barang mewah dinilai tidak akan menggenjot penerimaan negara.

Presiden Prabowo Subianto menegaskan, bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen khusus untuk barang mewah dilakukan semata-sama hanya untuk melindungi rakyat kecil.“Kan sudah diberi penjelasan ya, PPN adalah undang-undang (UU) yang kita akan laksanakan tapi selektif hanya untuk barang mewah, untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi. Sejak akhir 2023 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil. Jadi kalaupun naik itu hanya untuk barang mewah,” tegasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (6/12).

Bacaan Lainnya

Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap penerimaan negara. Berdasarkan perhitungan kasar, proyeksi pendapatan negara dari PPN 12 persen untuk barang mewah ini kurang dari Rp2 triliun.

“Kami telah melakukan kalkulasi memang kalau dari segi potensi penerimaan itu cuma Rp1,7 triliun. Cuma memang betul kalau kita melihat dampak ke kelas menengah, bawah atau atas, kebijakannya secara teori memang hanya berdampak ke kelompok masyarakat kelas atas,” ungkap Fajry ketika berbincang dengan VOA.

Selain itu, menurutnya, kebijakan ini diskriminatif dan berpotensi tumpang tindih dengan pajak penjualan barang mewah (PPnBM).

Berdasarkan data penerimaan negara pada tahun 2021 lalu, jelas Fajry, setoran PPnBM paling banyak berasal dari kendaraan bermotor di bawah 3000 cc yang dikenakan layer tarif sekitar 15 persen. Ia mengatakan PPnBM yang didapat tidak cukup berarti dalam meningkatkan emasukan negara. Maka dari itu, Fajry menyarankan, pemerintah membatalkan kebijakan tersebut.

“Kenaikan tarif PPN kalau secara UU kita tidak mengenal sistem multi tarif, dia hanya single tarif. Kalau diaplikasikan terhadap objek tertentu ini boleh dibilang diskriminatif, apa dasarnya? Apakah dasarnya untuk meningkatkan progresivitas? Kalau untuk meningkatkan progresivitas ada PPnBM kenapa harus melalui kenaikan tarif PPN? Itu kan menjadi tanda tanya,” jelasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *