Sejumlah pengamat menilai, keputusan pemerintah yang hanya akan menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen secara selektif terhadap barang mewah dinilai tidak akan menggenjot penerimaan negara.
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap penerimaan negara. Berdasarkan perhitungan kasar, proyeksi pendapatan negara dari PPN 12 persen untuk barang mewah ini kurang dari Rp2 triliun.
“Kami telah melakukan kalkulasi memang kalau dari segi potensi penerimaan itu cuma Rp1,7 triliun. Cuma memang betul kalau kita melihat dampak ke kelas menengah, bawah atau atas, kebijakannya secara teori memang hanya berdampak ke kelompok masyarakat kelas atas,” ungkap Fajry ketika berbincang dengan VOA.
Selain itu, menurutnya, kebijakan ini diskriminatif dan berpotensi tumpang tindih dengan pajak penjualan barang mewah (PPnBM).
Berdasarkan data penerimaan negara pada tahun 2021 lalu, jelas Fajry, setoran PPnBM paling banyak berasal dari kendaraan bermotor di bawah 3000 cc yang dikenakan layer tarif sekitar 15 persen. Ia mengatakan PPnBM yang didapat tidak cukup berarti dalam meningkatkan emasukan negara. Maka dari itu, Fajry menyarankan, pemerintah membatalkan kebijakan tersebut.
“Kenaikan tarif PPN kalau secara UU kita tidak mengenal sistem multi tarif, dia hanya single tarif. Kalau diaplikasikan terhadap objek tertentu ini boleh dibilang diskriminatif, apa dasarnya? Apakah dasarnya untuk meningkatkan progresivitas? Kalau untuk meningkatkan progresivitas ada PPnBM kenapa harus melalui kenaikan tarif PPN? Itu kan menjadi tanda tanya,” jelasnya.