“Jadi terkait dengan situasi yang berkembang di Papua, kita lihat ada reaksi dari masyarakat dan juga kekerasan yang terjadi. Ini tidak bisa lepas dari situasi sosial yang sebelumnya berhubungan dengan persoalan struktural,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Jika ingin kekerasan di Papua mereda, Franky meminta pemerintah pusat serius menghentikan pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan dan harus mengedepankan dialog damai.
“Sudah ada banyak inisiasi terkait dengan ini, tapi kami belum melihat adanya respons positif yang baik dari pemerintah. Dan yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM dan persoalan sosial lainnya yang ada di Papua,” tambahnya.
Para tokoh itu menyebut, dinamika Papua saat ini tidak terlepas dari tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Banyak kritik terkait pengabaian suara masyarakat Papua dalam berbagai proses pemerintahan dan kebijakan pembangunan, termasuk dalam pembentukan daerah otonomi baru, pembukaan tambang dan bisnis ekstraktif skala besar.
Pemerintah Indonesia, kata para tokoh ini, terus mengecewakan masyarakat Papua karena tidak serius menangani pelanggaran HAM berat di tingkat nasional dan juga di Papua secara benar dan adil, seperti kasus Intan Jaya, Wasior, hingga Wamena. Selain itu, masih digunakannya pasal makar untuk memberangus kebebasan, kekerasan aparat keamanan, dan eksekusi di luar hukum turut menambah daftar kekecewaan orang Papua terhadap pemerintah pusat.
“Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk berkomitmen menyelesaikan situasi di Papua saat ini dengan mengedepankan solusi yang bermartabat dan damai bagi masyarakat Papua. Perdamaian di tanah Papua perlu dihadirkan hadir bersamaan dengan keadilan,” tulis pernyataan para tokoh tersebut.
Banyak Kasus Belum Selesai
Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) mencatat sepanjang Januari-November 2023, terdapat 56 kasus kekerasan dan konflik bersenjata, yang mengorbankan masyarakat sipil, aparat TNI, POLRI dan Kelompok bersenjata TPNPB di Papua.
Lembaga itu mencatat, dari 56 kasus tersebut, 12 di antaranya disertai perusakan fasilitas publik, seperti pesawat terbang, sekolah, bandara, kios dan kantor pemerintah.
“Pada kasus-kasus tersebut, pengungsi makin bertambah secara signifikan. Berasal dari masyarakat sipil Orang Asli Papua (OAP) dan juga non-OAP. Mobilisasi pengungsi OAP yang jumlahnya sangat besar, tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah,” ujar Latifa Kuswariba Alhamid dari ALDP, dalam publikasi tahunan lembaga tersebut, pada Desember lalu.
Sedangkan data untuk mereka yang mengalami luka-luka, jumlah di kalangan masyarakat sipil mencapai 37 orang, disusul oleh anggota kepolisian sebanyak 22 orang, lalu TPNPB sebanyak lima orang dan anggota TNI sebanyak empat orang.
Dalam pernyataannya, ALDP menggarisbawahi kunjungan presiden Jokowi belasan kali ke Papua yang tidak memberi dampak signifikan bagi perlindungan dan penegakan HAM. Presiden dinilai terlalu fokus pada aspek pembangunan infrastruktur. Persoalan dasar kemanusiaan, seperti ketidakadilan hukum, ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan sosial, gagal diwujudkan.
ALDP juga mencatat, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, stigma dan intimidasi masih banyak ditemukan. Sejauh yang bisa didata antara lain adalah peristiwa Sinakma 23 Februari 2023, kematian dua ibu di Dekai (11 Oktober), penyerangan terhadap penambang ilegal di Seradala, Yahukimo (16 Oktober), dan serangan terhadap pekerja bangunan Puskesmas di Kepala Air, Puncak (19 Oktober).
ALDP menyatakan, korban dari masyarakat sipil makin banyak karena ruang gerak dan ruang perang di antara TNI/POLRI melawan TPNPB cenderung ada di ruang publik, dimana masyarakat sipil hidup, tinggal dan beraktivitas sehari- hari.
“Padahal, di tempat-tempat terpencil seperti itu pada situasi yang tanpa perang sekalipun, mereka bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak-hak dasar,” kata Latifa. [Red]#VOA