Marinus Yaung, cendekiawan Papua dari Universitas Cenderawasih adalah salah satu kerabat dari Daud Bano. Marinus aktif melakukan advokasi dan meminta aparat keamanan mengusut tuntas kasus yang menimpa kerabatnya tersebut.
Marinus mengatakan setiap kasus kekerasan di Papua berdiri di atas konteks yang bisa ditelusuri dari persoalan-persoalan hukum di masa lalu yang tidak diselesaikan.
“Kekerasan hari ini adalah buah dari konteks-konteks di masa lalu yang tidak terselesaikan, hari ini banyak kekerasan seperti ini. Ini bagian dari konflik agraria yang tidak terselesaikan, dimana pada zaman Soeharto itu ada perampasan tanah yang tidak diberi kompensasi,” kata Marinus kepada VOA.
Kekerasan Turun-temurun
Kasus kekerasan yang mengiringi pemakaman Lukas Enembe, bisa ditarik dalam konteks jangka pendek. Sejumlah alasan seperti pertikaian Enembe dengan pemerintah pusat dalam beberapa isu, kasus korupsi yang membelitnya, upaya penangkapan, pengadilan terhadap Enembe dan kematiannya akhir Desember lalu melatarbelakangi aksi kekerasan tersebut.
Sementara, menurut Marinus, kasus yang terjadi pada 1 Januari 2024, harus ditarik kembali dalam konteks program transmigrasi yang dijalankan di era Presiden Soeharto pada 1974. Ketika itu, Soeharto mengirim para transmigran ke Papua, dan merampas tanah adat sebagai lokasinya. Warga asli telah melakukan penolakan dan menuntut adanya ganti rugi, namun usaha mereka tak kunjung membuahkan hasil.
Karena itulah, Marinus menekankan, setiap konflik yang ada di Papua harus benar-benar diselesaikan dengan tuntas, sehingga tidak ada kekerasan yang berlanjut di kemudian hari.
Dia juga menekankan sejumlah hal, yang harus diperhatikan ketika menyikapi kasus kekerasan di Papua. Pertama, laporan-laporan media yang mengupas kasus semacam itu harus berimbang dan tidak mendiskreditkan warga Papua.
“Pemberitaan media mainstream yang tidak berimbang ini, sering kali menyuburkan konflik dan merawat kekerasan sosial di Papua, dan juga membuat hubungan Jakarta dengan Papua menuju disintegrasi bangsa semakin terbuka lebar peluangnya,” kata Marinus memberi alasan.
Kedua, peran tokoh masyarakat juga penting, karena dalam adat Papua, jika seorang tokoh sudah bicara mewakili suara masyarakat, maka kemarahan masyarakat dapat dicegah. Ketiga, Marinus mengingatkan bahwa aparat keamanan di mata orang Papua, merepresentasikan wajah negara. Keempat, semua permasalahan yang muncul harus kembali dilihat dengan konteks yang menyertainya, ujar Martinus.
“Apa konteksnya? Yakni konflik-konflik yang tidak tuntas diselesaikan secara adil oleh negara. Konflik yang tidak terselesaikan, sudah pasti akan berakhir dengan kekerasan,” lanjutnya.
Dalam konteks terbunuhnya Daud Bano di Kampung Karya Bumi, konteksnya adalah konflik agraria di wilayah transmigrasi. Suku yang menganggap tanah transmigran itu sebagai tanah adat, menilai ada persoalan yang belum tuntas diselesaikan. Konflik warga Papua dengan warga transmigran menjadi api dalam sekam sepanjang waktu.
Persoalan Struktural
Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Papua memiliki analisa senada dengan Marinus. Ketika berkomentar tentang aksi kekerasan pasca meninggalnya Enembe, Franky melihat persoalan struktural yang mendorong meletusnya kerusuhan yang terjadi.