Kampanye AntiPerundungan melalui Film Animasi

Menurut Diaz Robertus, SPsi, yang memiliki klinik Terapi Maksimal di Surakarta, dampak bullying dalam lingkungan gen Y dan gen Z sangat besar sehingga terkadang menyebabkan mereka mengambil langkah melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri. Mereka merasa bahwa kehidupannya tidak berarti dan menarik diri dari lingkungan sekitarnya.
“Hal itu terjadi menurut saya, karena lingkungan tidak mampu meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual kepada generasi ini. Pada saat mereka merasa gagal, tidak diterima, kecerdasan emosional dan spiritual inilah yang menjadi jangkar bagi mereka untuk tetap memiliki motivasi menjadi pribadi yang lebih baik,” tambah dokter Diaz.
Flightless Bird banyak diisi dengan ayam-ayam yang menari ballet. Untuk membuat tokoh-tokoh itu, Theodora Tania, yang bertugas membuat desain karakter dan lingkungan, mengatakan:
“Saya awali dengan riset sejarah fesyen. Saya mulai dari tahun 1800-an. Dan dari situ saya kembangkan desainnya”.
Ketiga mahasiswa: Clarecia, Tania, dan Joanne, dengan memegang peran masing-masing, memproduksi film tersebut selama satu semester.
Joanne Sydney yang mengetuai pembuatan animasi mengatakan, “Belajar banyak dari referensi bagaimana burung bergerak, karena semua tokohnya kan unggas ya, bagaimana bentuknya, jadi banyak studi tentang burung, api dan unsur-unsur lainnya. Untuk animasinya sendiri, dari story board, baru masuk ke key framing, pewarnaan, lalu post production, yaitu dieditlah videonya.”
Seorang penonton, Dhyang Anggita, mengaku berempati kepada angsa Kishika. Pasalnya, ia juga mengalami perundungan, mirip dengan apa yang terjadi pada Kishika, pemeran utama dalam film itu.
Mereka bertiga membuat film itu dengan biaya sendiri. Ketika hasil karya mereka meraih kesuksesan, mereka mengaku sangat bangga. Namun yang penting, mereka berharap pesan yang mereka tawarkan dalam film itu, isu bunuh diri akibat rasisme dan perundungan, bisa ditangkap tim juri, penonton, dan nantinya masyarakat luas. [Red]#VOA