Ia mengatakan, orang tua Gen Beta harus dapat memberikan pemahaman kepada anak-anak mereka mengenai perbedaan teknologi AI dan teknologi digital lainnya, terutama mengenai otonomi yang dimiliki kecerdasan buatan. Hal itu ia harapkan khususnya dari Millenial dan Gen Z yang sudah lebih akrab, bahkan tumbuh besar, bersama media sosial dan awal kemunculan AI.
“AI itu perlu disikapi berbeda dengan teknologi digital. Jadi, kita tidak bisa mengasumsikan apa-apa saja yang diberikan oleh AI itu sepenuhnya benar, dan di situlah kemudian literasi digital ini juga perlu diturunkan kepada Gen Beta,” tuturnya.
Selain orang tua, pemerintah juga bertanggung jawab menyiapkan Generasi Beta menyambut gelombang AI ke dalam kehidupan mereka, kata Bangkit.
Gagasan serupa disampaikan Baiq Hana Susanti, direktur Artificial Intelligence Center Indonesia (AiCI). Santi, sapaan akrabnya, memimpin lembaga yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia dalam bidang AI.
“Pertama, ya, memang bagaimana menyiapkan pendidikannya, pembelajarannya, gitu. Literasi AI ini harus mulai diajarkan, mereka harus literate. Bukan hanya sebagai pengguna, tapi juga someday mereka harus jadi creator sendiri,” ungkap dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia mengatakan, lembaganya didirikan untuk merespons kealpaan kurikulum sekolah untuk mengakomodasi pendidikan teknologi kecerdasan buatan. Saat ini, AiCI memberikan kegiatan ekstrakurikuler mengenai AI dan robotik setiap akhir pekan kepada sekitar 150 anak yang mendaftar secara pribadi, serta bekerja sama dengan sejumlah sekolah untuk mengadakan ekskul AI robotik sepulang sekolah.
“Kita enggak punya gurunya, kita enggak punya kurikulumnya. Kita enggak punya AI ecosystem – kalau kami menyebutnya demikian, keterkaitan antara sekolah dan industri. Dan kita juga enggak punya study environment-nya. Jadi, iklim belajar AI itu yang belum ada,” jelas Santi.
Maka, ketika Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan rencananya untuk menambahkan mata pelajaran AI dan coding sebagai mata pelajaran pilihan di “sekolah-sekolah yang sudah siap”, Santi pun mengapresiasi.
Di sisi lain, meski paham niat baik di balik rencana tersebut, Bangkit merasa kebijakan itu tidak sesuai dengan realitas pendidikan di Indonesia, yang menurutnya “perlu perbaikan secara mendasar terlebih dahulu,” mengingat pemahaman mengenai ilmu matematika dasar yang diperlukan untuk mempelajari coding masih kurang di kalangan pelajar.
Sementara itu, ia berharap pemerintah dan para pengambil kebijakan dapat segera menyusun peraturan hukum mengenai AI di tingkat nasional, yang krusial terhadap perkembangan dan pengimplementasian teknologi AI di tanah air, terutama ketika Gen Beta akan dikelilingi oleh kecerdasan buatan yang akan semakin cerdas, bahkan bukan tidak mungkin menjadi sebuah sistem kecerdasan super buatan, atau artificial super intelligence, yang tingkat kecerdasannya melebihi manusia, seperti yang diprediksi pakar.
“Kalau kita melihat contoh negara-negara lain yang sudah memiliki aturan AI yang lebih baik, semuanya selalu dimulai dengan aturan yang sifatnya garis besar terlebih dahulu, tentang AI ini arahnya ke mana dan sebagainya, baru kemudian dibuat yang sifatnya sektoral,” urai Bangkit.
Sejauh ini, regulasi terkait AI yang dikeluarkan pemerintah masih bersifat sektoral, yaitu berupa Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 9 Tahun 2023 mengenai Etika Kecerdasan Artifisial. [Red]#VOA