Diwawancarai secara terpisah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin menilai tingginya bencana banjir dan tanah longsor sepanjang 2024 merupakan cerminan dari kondisi lingkungan di Indonesia yang rusak oleh masifnya pembukaan lahan, deforestasi dan degradasi hutan.
“Nah, sementara banjir bandang dan juga sebagian kecil longsor itu disebabkan karena degradasi hutan. Apa itu? Bukan hanya pemotongan atau penebangan pohon di dalam hutan saja, di ekosistem hutan tetapi juga merusak lahan-lahannya, mendegradasi, mengeruk tanah-tanahnya. Nah ini terjadi kebanyakan disebabkan karena masifnya pertambangan-pertambangan mineral di Indonesia,” kata Al Amin pada Jumat (10/1).
Ia mengingatkan perubahan iklim telah mempengaruhi curah hujan tinggi yang memicu banjir dan longsor sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk memitigasi perubahan iklim dengan kebijakan moratorium izin tambang nikel serta menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, khususnya PLTU, untuk pabrik-pabrik smelter nikel di Sulawesi dan Maluku Utara.
“Hampir 9 Gigawatt pembangkit listrik bertenaga batu bara itu terbangun di Sulawesi untuk memproduksi, untuk menggerakkan pabrik-pabrik smelter nikel di Sulawesi. Dan itu memicu terjadinya penghancuran, memicu kenaikan emisi dan memicu perubahan iklim yang semakin parah atau krisis iklim yang semakin buruk. Nah, oleh karena itu salah satu bentuk mitigasi yang kami sarankan kepada Presiden Prabowo itu harus tegas. Pemerintah sudah harus menghentikan pembangunan PLTU batu bara,” tambahnya.
Dalam catatan akhir tahun WALHI, Provinsi Sulawesi Selatan sepanjang 2024 mengalami 362 kali bencana ekologis, yang didominasi banjir sebanyak 41 persen dan tanah longsor sebanyak 33 persen.
Bencana yang terjadi di 24 kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan sepanjang tahun lalu itu menewaskan 46 orang. Sementara 15.631 masyarakat harus mengungsi dari tempat tinggalnya. Kerugian materil diperkirakan mencapai Rp1,95 triliun. [Red]#VOA