Kualitas udara di ibu kota Jakarta, termasuk salah satu di antara yang terburuk di dunia (Foto: AP /Dita Alangkara).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjatuhkan sanksi administratif kepada sebelas industri yang terbukti menjadi penyebab pencemaran udara di DKI Jakarta.
JAKARTA (KD) – Kepastian penjatuhan sanksi tersebut disampaikan Menteri KLHK Siti Nurbaya, usai melakukan Rapat Terbatas dengan Presiden Joko Widodo, di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/8).
“Yang sudah dilakukan kemarin sampai dengan tanggal 24 Agustus dan sudah dikenakan sanksi administratif yaitu 11 entitas,” ungkap Siti.
Ia menjelaskan, menyebut kesebelas industri yang dikenai sanksi tersebut bergerak di sector batu bara, peleburan logam, pabrik kertas, dan arang. “Artinya berdasarkan hasil pemeriksaan dilihat hal-hal apa yang tidak sesuai dengan standar dan mereka harus penuhi itu,” tambahnya.
Langkah penegakan hukum ini, kata Siti, merupakan tindak lanjut dari operasi di lapangan dimana pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap 351 industri — termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) — sebagai sumber pencemaran udara.
Dari jumlah ini, pihak KLHK telah mengidentifikasi 161 unit usaha di enam titik lokasi yang dekat dengan pengamatan oleh peralatan kementerian itu.
Menteri KLHK Siti Nurbaya (Foto dok: VOA)
“Jadi, misalnya yang selalu konsisten tidak sehat di Sumur Batu, Bantar Gebang, itu kira-kira ada 120 unit usaha. Kemudian di sekitar Lubang Buaya ada sekitar sepuluh, di Tangerang ada tujuh, kemudian di Tangerang Selatan ada 15 entitas, di Bogor ada sepuluh,” jelasnya.
Ia mengatakan, pengamatan terhadap sektor industri dan pembangkit listrik ini akan dilanjutkan empat hingga lima minggu ke depan. Dengan penjatuhan sanksi tersebut, pemerintah akhirnya mengakui bahwa tidak hanya sektor transportasi saja yang berkontribusi terhadap peningkatan polusi udara di DKI Jakarta. Siti menyebut bahwa sektor PLTU menyumbang 34 persen, transportasi 44 persen, dan sisanya adalah lain-lain termasuk dari rumah tangga.
Lebih lanjut, Siti mengungkapkan pemerintah juga akan menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menekan pencemaran udara. Menurutnya, cara tersebut cukup berhasil membuat udara menjadi lebih sehat.
Selain itu, pihaknya juga berencana mengimbau para pengelola gedung tinggi di DKI Jakarta untuk menggunakan teknologi modifikasi cuaca mikro yang akan memungkinkan gedung-gedung tinggi tersebut menghembuskan uap air.
Polusi Sebagai Sumber Penyakit Saluran Pernapasan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang juga hadir dalam ratas ini melaporkan kepada Presiden Jokowi, bahwa ada tiga penyakit gangguan pernapasan yang disebabkan oleh polusi udara yakni infeksi paru atau pneumonia, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan asma.
“Kita juga analisa, apa penyebab pernyakit pernapasan ini? Penyebabnya banyak, salah satu penyebab yang paling dominan adalah polusi udara. itu antara 24-34 persen dari tiga penyakit utama tadi,” kata Budi.
Menurutnya, permasalahan polusi terhadap kesehatan ini cukup serius. Hal ini dibuktikan dengan beban BPJS Kesehatan pada enam penyakit gangguan pernapasan yang jumlahnya mencapai Rp10 triliun pada tahun lalu.
“Kalau melihat trend-nya di 2023 naik terutama ISPA dan pneumonia ini kemungkinan juga akan naik,” tuturnya.
Ia pun mengimbau kepada masyarakat untuk memakai masker jenis KF 94 dan KN 95 ketika sedang berkegiatan di luar ruangan, untuk menahan PM2,5 (partikel udara berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2,5 mikrometer) yang bisa menyebabkan pneumonia.
Monitoring Secara Periodik dan Penegakan Hukum Bertahap
Juru Kampanye Kota Isu Urban Walhi (Wahana Lingkungan Indonesia), Abdul Gofar, menyambut baik langkah penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang berkontribusi terhadap peningkatan polusi udara di DKI Jakarta dan sekitarnya meskipun terlambat.
Ia berharap, ke depannya penegakan hukum tersebut dibarengi dengan langkah pengamatan kepada sektor-sektor penyumbang polusi secara berkala. Dengan begitu, katanya, sanksi yang diberikan bisa menimbulkan efek jera.
“Harapan kami monitoring itu berlaku secara berkala, misalnya 3-6 bulan sekali. Sehingga ada kemungkinan untuk melakukan penegakan hukum yang naik level. Misalnya, dalam satu kali temuan ada teguran tertulis, kemudian terjadi pengulangan pelanggaran maka lanjut ke paksaan pemerintah sampai ke pencabutan izin. Bahkan kalau memungkinan ada pidana lingkungan yang bisa diterapkan kepada sektor industri yang terbukti melakukan pelanggaran berkaitan dengan pencemaran udara,” ungkap Gofar.
WALHI juga berharap pemerintah memeriksa keseluruhan industri yang ada di Jakarta, karena berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, kurang lebih ada 1.500 industri yang terdaftar.
Terkait teknologi modifikasi cuaca (TMC) yang coba dilakukan oleh pemerintah, menurutnya, tidak akan berkontribusi banyak. Berdasarkan riset yang ada, pengaruh hujan terhadap perbaikan kualitas udara hanya mencapai 3-9 persen. Maka dari itu, katanya, upaya tersebut harus dilakukan secara pararel dengan upaya-upaya lainnya.
“Menurut kami sebagai langkah jangka pendek harus ada kombinasi antara TMC, dengan upaya lain seperti pembatasan kendaraan, perluasan WFH (work from home) untuk ASN (aparatur sipil negara) dan swasta mungkin kalau ada persetujuan dengan pelaku usaha, pembatasan kendaraan bermotor, temasuk penegakan hukum ke sektor industri dan pembangkit listrik yang sepertinya belum terdengar effort selain industri dan transportasi,” pungkasnya. [Red]#VOA