Sambutan Warga Beragam
Seruan boikot MUI ini ditanggapi beragam oleh masyarakat.
Fadillah, ibu dua anak di daerah Bekasi, Jawa Barat, terlihat serius melihat ke ponselnya sambil memegang produk yang hendak dibelinya di salah satu supermarket di daerah itu. Ternyata wanita berumur 50 tahun ini sedang melihat daftar nama produk yang harus diboikot, yang didapatkannya dari media sosial.
Dia mengatakan sudah berniat tidak akan bersedia membeli produk-produk Israel, maupun produk yang mendukung Israel.
“Saya sudah tidak mau, nanti uang kita dipakai untuk memerangi warga Gaza,” ujarnya.
Seorang pegawai Unilever Indonesia sedang menyusun produk-produk kecantikan di sebuah supermarket, 31 Oktober 2016. Majelis Ulama Indonesia pada 10 November 2023 mengeluarkan fatwa untuk memboikot produk Israel atau perusahaan yang pro Israel. (Foto: Beawiharta/Reuters)
Hal yang sama juga dilakukan oleh Indri Wulandari, usia 35 tahun, yang tinggal di Jakarta Timur.
Namun, Vickry Hakim, yang juga tinggal di Bekasi, menilai pemboikotan produk Israel bukan solusi agar negara itu menghentikan serangan terhadap warga Palestina di Gaza.
“Kebanyakan produk di Indonesia dari luar negeri, apalagi kalau kita memboikot produk-produk Amerika, menurut saya nggak bisa karena kita kebanyakan memang menggunakan produk-produk dari negara mereka,” ujarnya.
Efektifkah?
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi efektivitas kampanye pemboikotan produk yang berafiliasi dengan Israel. Pertama, tingkat ketaatan masyarakat Muslim pada fatwa MUI. Ia menilai meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, belum tentu semua taat pada fatwa MUI.