Warga menyoroti lambannya penanganan dari Pemerintah Desa Lantang dan Kepala Dusun Borong Unti, bahkan mencurigai adanya konflik kepentingan karena hubungan keluarga antara Kepala Desa dan istri almarhum DG. LAU.
Sengketa lahan seperti ini diatur dalam sejumlah regulasi nasional, antara lain:
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Menegaskan bahwa hak atas tanah harus memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak boleh merugikan pihak lain.
- Peraturan Menteri ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 Mengatur tahapan penyelesaian kasus pertanahan, termasuk klasifikasi kasus, mediasi, dan gelar perkara.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1365 Menyebutkan bahwa perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain dapat dikenai sanksi hukum berupa ganti rugi.
Jika terbukti ada pemalsuan dokumen atau pengabaian hak pihak lain, pelaku dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, dengan ancaman hukuman hingga 6 tahun penjara.
- Mediasi formal melalui Kantor Pertanahan atau BPN Sesuai Permen ATR/BPN No. 21/2020, mediasi dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik secara administratif dan hukum.
- Gugatan ke Pengadilan Negeri Jika mediasi gagal, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata atas kepemilikan lahan.
- Laporan ke Komnas HAM atau Ombudsman Jika ada indikasi pelanggaran hak atau konflik kepentingan oleh aparatur desa.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Kepala Desa Lantang maupun aparat dusun terkait permintaan mediasi warga. Masyarakat berharap agar pemerintah daerah dan instansi terkait segera turun tangan untuk memastikan penyelesaian yang adil dan transparan. [D’kawang]