Achmad juga berdalih bahwa pembangunan TPT belum dilanjutkan karena sebagian pekerja sedang panen dan kondisi saluran air yang meluap akibat kiriman dari desa tetangga. “Kami tetap berkomitmen menyelesaikan proyek sesuai RAB,” ujarnya.
Jika terbukti ada penyimpangan anggaran atau praktik politik transaksional dalam proyek ini, maka pelaku dapat dijerat dengan sejumlah regulasi:
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, khususnya Pasal 3 yang mengatur penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara. Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 72 dan Pasal 74, yang mengatur penggunaan Dana Desa dan bantuan keuangan harus transparan dan akuntabel.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 280 dan Pasal 523, yang melarang politik uang dan menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku dengan ancaman penjara hingga 4 tahun dan denda Rp48 juta.
- Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2016 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Infrastruktur Desa, yang menetapkan standar teknis konstruksi, termasuk komposisi material dan penggunaan tulangan.
Publik berharap aparat penegak hukum dan lembaga pengawas segera turun tangan untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum dalam pelaksanaan proyek ini. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar pembangunan desa tidak terjebak dalam praktik korupsi dan politik transaksional. [NH]