Sensor diberlakukan untuk seluruh barang cetakan, terutama surat kabar harian, mingguan, bulanan dan berkala. Termasuk barang cetakan majalah, buku bacaan, buku pelajaran, selebaran, pengumuman, merek dagang, program bioskop dan undangan. Bahkan, studio foto diwajibkan mengirim film hasil cetakannya ke badan sensor sebelum diserahkan kepada yang memesan foto tersebut
Ada Undang-Undang
Untuk membatasi gerak pers, pembesar Bala tentara Jepang di Jakarta, secara resmi mengeluarkan Undang-undang No.18 tanggal 25 Mei 1942 tentang “Pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan dan penilikan pengumuman dan penerangan”.
Undang-undang yang memuat 11 pasal itu menjabarkan ketentuan tentang pengumuman dan penerangan kepada masyarakat umum. Selain berisi petunjuk untuk mendapatkan izin penerbitan dan larangan dalam penyiaran, juga ditetapkan pada pasal 11 tentang ancaman hukuman bagi pelanggar UU No.18 itu.
Selain ada surat kabar “Soeara Asia”, awal pendudukan Jepang di Surabaya, juga terbit surat kabar “Pewarta Perniagaan” dengan alamat di Aloon-aloon straat 30 (sekarang Jalan Pahlawan 116).
Saat bersamaan muncul perwakilan surat kabar Jepang di Surabaya, namanya harian “Osaka Mainichi” dan “Tokyo Nichi-nichi Simbun”.
Perubahan di dunia pers juga terjadi di kantor berita. Kantor berita “Aneta” oleh Jepang dilarang beroperasi, sedangkan kantor berita “Antara” boleh beroperasi dengan ketentuan ganti nama menjadi “Yashima”. Namun, kemudian menjadi kantor berita “Domei” bagian Indonesia. Surat kabar yang terbit, untuk berita luar negeri hanya boleh mengambil dari kantor berita Domei.
Pengawasan yang ketat juga diberlakukan terhadap wartawan. Untuk memperoleh kartu wartawan, terlebih dahulu dilakukan penataran dan hanya yang lulus berhak mendapat kartu pers yang dikeluarkan oleh Jawa Shinbun Kai (organisasi sejenis Serikat Penerbit Suratkabar atau SPS di Jawa waktu itu).
Salah satu data yang diungkap A.Latief dalam bukunya “Pers Indonesia di zaman Jepang”, menyebut wartawan surat kabar Soeara Asia yang lulus hanya 16 orang.
16 wartawan itu adalah: R.Toekoel Soerohadinoto, Abdoel Wahab, Imam Soepardi, Sie Tjin Goan, Mohammad Ali, Ronggodanoekoesoemo, Moch Sofwan Hadi, Sie Pek Ho, R.Abdoel Azis, JAA Pattiradjawane, A Dermawan Loebis, Mohammed, Sarif Roesdi, R.Soenarjo, Ibnoe Soejahman dan R.Koesen.
Walaupun pemerintahan Bala tentara Jepang sangat ketat dalam sensor, mereka melakukan pembinaan kepada pemuda Indonesia dengan semangat Asia Raya. Dari itu diperoleh manfaat untuk menggalang semangat menuju Indonesia merdeka. Akhirnya setelah Jepang “bertekuk lutut” akibat jatuhnya bom atom di Hirosyima dan Nagasaki.
Semoga berita dan artikel yang berkaitan dengan sejarah tetap digandrungi kaum milenial dan Generasj Zet. Sebab bagaimanapun juga, peristiwa masa lalu dan sejarah, tetap bermanfaat sebagai pembanding perkembangan masa kini dan akan datang***) Yousri Nur Raja Agam, wartawan senior di Surabaya [Red]