Pemilu: Jalan Menuju Papua Damai atau Tambahan Persoalan?

  • Whatsapp
Seorang perempuan suku Papua mengisi surat suaranya di TPS Jayapura di Provinsi Papua bagian timur pada8 Juli 2009. (Foto: AFP /Banjir Ambarita)

Ismail Asso adalah agamawan sekaligus tokoh adat, yang masuk ke dunia politik melalui skema pengangkatan di MRP. Dia meyakini, politik adalah cara damai memperjuangkan masa depan Papua, dan bukan melalui kekerasan bersenjata.

“Saya hanya melihat secara pragmatis, bahwa dengan adanya daerah otonomi baru itu memberikan kesempatan kita, supaya bisa belajar. Belajar ini-itu segala macam, terutama untuk meningkatkan kesehatan, pelayanan publik, pendidikan, itu yang paling mendasar,” kata Asso.

Bacaan Lainnya

Masuk ke politik, seperti menjadi anggota MRP, membuka jalan untuk turut mengambil keputusan dalam memperjuangkan masa depan Papua.

Seperti apa masa depan Papua itu sendiri, kata Asso, masih menjadi misteri.

“Saya harus positive thinking, saya senantiasa berpikir bahwa tidak ada yang abadi. Dunia ini selalu berubah, termasuk juga isu Papua merdeka. Suatu saat akan terjadi, bisa saja. Tetapi bisa juga suatu saat Papua akan punah seperti Aborigin di Australia atau suku Inca di Amerika, bisa juga, karena itu kan proses,” katanya kepada VOA.

Dia memberi contoh, bagaimana kekuatan politis bisa mempengaruhi masa depan Papua. Ketika pejabat gubernur Papua Pegunungan mewacanakan pembukaan rute penerbangan langsung ke Makassar, Asso serta merta meminta rencana itu dipikirkan ulang. Pasalnya ia berpendapat adanya akses udara langsung akan mempermudah masuknya masyarakat luar ke wilayah Papua Pegunungan. Padahal pemerintah lokal belum mempersiapkan masyarakat setempat agar bisa bersaing.

Para pekerja mengantarkan kotak suara dengan perahu ke desa-desa terpencil di Mappi, Provinsi Papua pada 2019. (Foto: Courtesy/Komisi Pemilihan Umum/AFP)
Para pekerja mengantarkan kotak suara dengan perahu ke desa-desa terpencil di Mappi, Provinsi Papua pada 2019. (Foto: Courtesy/Komisi Pemilihan Umum/AFP)

Sebagai lembaga politik, MRP memiliki kesempatan menekan pemerintah daerah dalam isu-isu semacam itu. Karena itu, dia masih meyakini bahwa kelembagaan politik penting dalam perjuangan Papua memperbaiki kondisi masyarakatnya.

Pendidikan bagi rakyat Papua juga hanya bisa ditingkatkan atas dasar komitmen politik. Padahal Asso meyakini pendidikan menjadi dasar dari perubahan bagi Papua.

“Karena di situ ada sistem kontrol yang baik, orang-orang yang berpikir kritis, sehingga ada bargaining dalam kebijakan-kebijakan tertentu. Kalau selama ini kan diam, kebijakan dikelola oleh kelompok elite,” tandas dia.

Seperti juga provinsi baru lain, Papua Pegunungan akan menyelenggarakan pemilihan gubernur pada November 2024.

Solusi atau Sumber Masalah?

Pemilu mendatangkan banyak janji perubahan bagi Papua yang lebih aman dan damai. Namun, penyelenggaraan pemilu itu sendiri, adalah ancaman bagi kedamaian di wilayah itu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah memperingatkan, bahwa wilayah Papua memiliki tingkat kerawanan tertinggi dalam pelaksanaan pemilu.

Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) sudah mengidentifikasi sejumlah potensi ancaman keamanan, terkait Pemilu 2024. Dia mencontohkan, salah satu yang menjadi sorotan khusus di Papua, adalah aturan bahwa seperempat anggota DPRD diangkat dari Orang Asli Papua (OAP). Pengangkatan ini, lanjut dia, bersamaan dengan anggota dewan yang dipilih dan berbasis pada suku dan subsuku.

“Nah, ini ada dinamika yang cukup tajam di antara sub-sub suku yang ada di Papua, karena perwakilan dan jumlah kursi masih saling diperdebatkan,” ujar dia.

Suku Asmat menari saat festival budaya di distrik suku Agat, di Papua, 13 Oktober 2009. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin)
Suku Asmat menari saat festival budaya di distrik suku Agat, di Papua, 13 Oktober 2009. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin)

Latifah mengambil contoh, untuk kota Jayapura dibagi menjadi empat daerah pemilihan. Di satu daerah pertama, misalnya, ada Suku Timbi, yang terdiri dari empat sub-suku, Kayu Pulo, Kayu Batu, Tobati dan Engros yang hidup di empat kampung. Namun, hanya aka nada tiga anggota DPRD yang diangkat dari empat sub suku ini. Problem serupa ditemukan di banyak tempat lain.

Potensi kerawanan lain adalah penggunaan sistem noken di sejumlah wilayah. Sistem ini sangat rawan memicu perselisihan, meskipun sebaliknya, juga dianggap sebagai jalan keluar menekan potensi rusuh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *