Pemilu: Jalan Menuju Papua Damai atau Tambahan Persoalan?

  • Whatsapp
Seorang perempuan suku Papua mengisi surat suaranya di TPS Jayapura di Provinsi Papua bagian timur pada8 Juli 2009. (Foto: AFP /Banjir Ambarita)

Pemilu bagi rakyat Papua ibarat ladang penuh taburan janji. Sayang, meski presiden terus berganti, janji-janji itu tak juga dipenuhi. Namun, tak ada jalan damai lain untuk memperjuangkan nasib Papua, selain politik itu sendiri.

( DN ) – Nicodemus Momo, mantan aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) tahu betul bahwa pemilu dan kampanye yang menyertainya tidak bermakna banyak bagi Papua.

Bacaan Lainnya

“Tahun 2014 itu Presiden Jokowi kampanye perdana terbuka di Jayapura. Dia sampaikan terbuka, bahwa ketika dia terpilih jadi presiden, dia akan membuka ruang dialog, menyelesaikan masalah Papua. Pelanggaran HAM berat di tanah Papua. Sampai sekarang, 10 tahun, besok dia turun, kapan dia buka dialog? Di mana?” kata Nico setengah menggugat.

Namun, meski tahu politik tidak memberi banyak harapan bagi Papua, Nico turut terjun ke sektor ini. Pekan-pekan belakangan, dia sibuk sosialisasi sebagai calon legislatif, di daerah pemilihan 3, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya. Seusai kuliah, Nico pulang ke Papua untuk menjadi politisi di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Kalau untuk kita, selagi ada dalam bingkai NKRI ini, soal pemilu itu, ya, hajatan negara. Kita hanya ikut untuk menyukseskan. Keamanan Papua, itu soal lain. Siapapun jadi presiden, tidak mungkin menyelesaikan masalah di tanah Papua. Karena akar masalahnya tidak diselesaikan,” kata dia ketika ditanya soal keterlibatannya dalam politik.

Anggota suku dan perempuan Papua yang mengenakan kostum adat memilih di Jayapura pada 9 Juli 2014 yang terletak di pelosok Provinsi Papua. (Foto: AFP/Liva Lazore)
Anggota suku dan perempuan Papua yang mengenakan kostum adat memilih di Jayapura pada 9 Juli 2014 yang terletak di pelosok Provinsi Papua. (Foto: AFP/Liva Lazore)

Orang Papua, kata Nico, memandang pemilu sebagai agenda negara. Sebuah rutinitas yang diselenggarakan setiap lima tahun. Namun, saat ini harapan bahwa nasib Papua akan berubah karena pemilu sudah dikubur dalam-dalam. Mereka yang mencalonkan diri sebagai calon gubernur atau calon anggota DPR dan DPRD, kata Nico, terlibat sekadar untuk meramaikan hajatan bersama ini.

“Coba saja taruh ruang, tanya mereka, mau bergabung dengan NKRI atau mau merdeka. Pasti semua orang pilih merdeka,” ujar dia.

Perjuangan Melalui Politik

Pendapat senada disampaikan Ismail Asso, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) di Provinsi Papua Pegunungan.

Pekerja mengantarkan kotak suara ke desa-desa terpencil di Yalimo, Provinsi Papua pada 2019. (Foto: Courtesy/Komisi Pemilihan Umum/AFP)
Pekerja mengantarkan kotak suara ke desa-desa terpencil di Yalimo, Provinsi Papua pada 2019. (Foto: Courtesy/Komisi Pemilihan Umum/AFP)

MRP adalah lembaga representasi adat, dan Papua Pegunungan merupakan provinsi baru, bagian dari pemekaran yang dilakukan pemerintah pusat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *