Apart from the surge in COVID cases and deaths in January, China also saw the youth unemployment rate rise to a historic high amid a persistent economic slowdown. For months, China’s youth unemployment rate was above 20%, which exacerbated a sense of despair among the millions of college graduates.
Alih-alih mengirim foto sukacita pelemparan topi pada upacara wisuda, banyak anak muda di China berbagi foto diri mereka yang tergeletak di tanah, tertelungkup di tangga, atau membuang ijazah sarjana ke tempat sampah.

Pasar kerja yang suram telah memaksa beberapa generasi muda untuk kembali ke kampung halaman mereka dan menjadi “anak-anak penuh waktu” sementara yang lain berjuang untuk mempertahankan gaya hidup normal karena masalah mental yang serius. “Saya didiagnosis menderita depresi sejak kehilangan pekerjaan pada Juni,” kata Jacky Wang, lulusan perguruan tinggi berusia 22 tahun di Shanghai, mengatakan kepada VOA melalui telepon.
“Saya takut mencari pekerjaan. Setiap kali saya membuka situs pencarian kerja, saya akan sangat gugup dan bahkan mengalami sakit kepala yang parah. Setiap kali saya membaca tentang angka pengangguran kaum muda terbaru, saya bertanya-tanya apakah hidup saya akan seperti ini selama saya tinggal di China,” tambahnya.
Pada Agustus, China mengumumkan bahwa mereka tidak lagi merilis data pengangguran kaum muda, dengan alasan adanya kebutuhan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan cara pengumpulan data.
Gejolak politik, ketidakpuasan publik
Selagi berjuang untuk mengatasi tantangan-tantangan yang muncul setelah berakhirnya kebijakan Nol-COVID, pemerintah China juga menghadapi beberapa momen politik yang sulit dan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap gaya kepemimpinan Xi Jinping yang keras kepala.
Political turbulence, public discontent