Sosiolog Universitas Hasanuddin, Dr. Nurul Haq, mengkritik fenomena ini sebagai indikator lemahnya deteksi dini atas kerentanan sosial. Menurutnya, birokrasi cenderung menunggu momentum, alih-alih bekerja secara preventif.
“Kebijakan sosial kita masih reaktif. Sistem harusnya jalan tanpa perlu sensasi,” tegasnya.
Pasca viral, Pemerintah Kabupaten Takalar menyatakan bahwa Nenek Cele telah terdaftar sebagai penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sembako. Namun, fakta bahwa ia tetap tinggal di rumah tak layak menimbulkan tanda tanya besar soal efektivitas sistem.
“Kami tengah melakukan evaluasi internal terkait penyaluran bantuan dan mekanisme pengawasan di lapangan,” ujar Kepala Dinas Sosial Takalar dalam keterangannya.
Namun publik menganggap respons tersebut belum menyentuh akar persoalan. Jaminan sosial di tingkat desa dinilai masih administratif, minim pemantauan aktif, dan belum menyentuh kebutuhan riil warga rentan.
Kasus Nenek Cele kini menjadi simbol kegagalan sistem perlindungan sosial yang seharusnya menjangkau lansia miskin. Di tengah meningkatnya populasi lansia, desakan terhadap sistem yang lebih tanggap, adil, dan berkelanjutan semakin nyaring.
“Kemanusiaan tak seharusnya tunduk pada algoritma viral,” tulis salah satu warganet dengan nada kritis.
Hingga berita ini ditulis, bantuan material telah mengalir. Namun yang lebih dinanti adalah reformasi menyeluruh—agar tak ada lagi warga seperti Nenek Cele yang harus menunggu sorotan publik demi memperoleh hak-hak dasarnya. [D’kawang]