“Ndasmu” dan “Kau Yang Gelap,” Indikasi Kemunduran Komunikasi Politik?

  • Whatsapp
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut kata "Ndasmu" menuai sorotan publik (foto: ilustrasi).

“Secara teoritis maupun secara praktis, pemerintah, atau mereka yang menjalankan amanat dari rakyat, membutuhkan partisipasi (masyarakat). Ketika dialog (antara pemerintah dan masyarakat) itu kemudian ditutup dengan kata-kata yang tidak pantas, masyarakat akhirnya akan mengambil jarak, sehingga secara teoritis partisipasi publik akan menjadi minim,” terangnya.

Firman Kurniawan (dok. pribadi)
Firman Kurniawan (dok. pribadi)

Menurut Firman, kritik seharusnya dipahami sebagai bentuk partisipasi publik, bukan ancaman yang perlu ditanggapi dengan sindiran dan pernyataan defensif.

Bacaan Lainnya

“Kecintaan masyarakat pada pemimpinnya itu dinyatakan dengan kritik. Nah, kalau tidak nyaman dengan kritik, kemudian dibalas dengan makian, ini kan namanya resisten,” sebut Firman.

Jika terus dinormalisasi, menurut Firman, gaya komunikasi seperti ini berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Firman menyoroti salah satu dampak sosialnya, yaitu munculnya tren apatisme dan keengganan berpartisipasi dalam urusan negara.

“Munculnya tagar #KaburAjaDulu. Ini adalah sebuah sinyal yang menunjukkan adanya keputusasaan. Jadi, mereka yang tidak bisa melawan, mereka yang mungkin tidak diterima keinginan berdialognya, akhirnya mencari alternatif di tempat lain,” pungkasnya.

Media Diminta Tak Hanya Jadi Pengeras Suara Pemerintah

Di tengah tren komunikasi pejabat yang semakin kasar dan tidak konvensional, media menghadapi dilema besar soal melaporkan pernyataan pejabat apa adanya, atau memoles dan memberi konteks guna menghindari kesalahpahaman?

Rossalyn Asmarantika, pengamat jurnalistik dan media di Universitas Multimedia Nusantara, menilai media sering kali memilih jalur yang lebih sensasional dalam memberitakan pernyataan pejabat.

Rossalyn Asmarantika (dok. pribadi)
Rossalyn Asmarantika (dok. pribadi)

“Seperti cuplikan, misalnya ada menteri, atau presiden, mengeluarkan diksi tertentu yang kontroversial, atau yang bikin kita tercengang, yang mungkin tidak sepantasnya dikatakan. Nah, itu dilempar begitu saja sama medianya. Mungkin yang perlu dilakukan adalah put the context,” kata Rossalyn.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *