Komunikasi politik yang blak-blakan, spontan, dan terkadang dinilai tidak beretika semakin sering dipertunjukkan sebagian pejabat Indonesia dan AS. Apakah ini indikasi kemunduran komunikasi politik? Apa dampaknya?
“Negara kita sangat besar. Sudah kita mulai sekian ratus orang, masih ada yang komentar belum banyak. Kalau enggak ada wartawan, saya bilang ndasmu,” ujar Prabowo, yang disambut riuh tawa para peserta.
“Ada orang pintar bilang, kabinet ini gemuk, terlalu besar… ndasmu,” ucapnya lagi, merespons kritik terhadap susunan kabinetnya yang dinilai tidak efisien.
Tidak hanya Prabowo, sejumlah pejabat publik lain juga sempat melontarkan pernyataan kontroversial dengan nada serupa.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, pernah merespons kritik masyarakat terkait kondisi negara yang semakin sulit, yang disuarakan lewat tagar #IndonesiaGelap, dengan mengatakan, “kau yang gelap!”
Gaya komunikasi pejabat yang semakin lepas dari norma dan cenderung kasar memunculkan pertanyaan: apakah ini strategi komunikasi politik spontanitas untuk menarik simpati publik, atau justru berisiko semakin memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyatnya?
Pengamat: Mengapa Kritik Ditanggapi dengan Sindiran & Ejekan?
Firman Kurniawan, pengamat budaya dan komunikasi digital di Universitas Indonesia, menilai bahwa penggunaan bahasa informal yang cenderung kasar dalam komunikasi pejabat publik bukan sekadar masalah gaya komunikasi, tetapi juga mencerminkan pola interaksi pemerintah dengan masyarakat.