Menhan Lepas KRI dr. Radjiman Untuk Kirim Bantuan ke Gaza

  • Whatsapp

Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsih mengatakan sampai saat ini pemerintah terus berkoordinasi dengan pihak terkait agar izin untuk mendirikan rumah sakit lapangan atau izin untuk operasi kapal bantu rumah sakit bisa dikeluarkan.

“Kita semua sedang melakukan pembicaraan dengan otoritas Mesir untuk mendapatkan izin tersebut. saya kira itu memang perlu waktu karena kondisi di lapangan memang belum kondusif,” tegas Bagus.

Bacaan Lainnya
Oleh karena itu, misi yang diemban oleh KRI dr Radjiman Wedyodiningrat 992 saat ini hanya untuk mengirimkan bantuan, sama dengan dua pesawat terbang sebelumnya yang sudah mengirimkan bantuan tahap pertama dan kedua.

Rencananya kapal tersebut akan berlabuh di Pelabuhan Al-Arish, yang menurut Bagus merupakan tempat yang paling kondusif karena cukup dekat dengan lokasi yang akan diberikan bantuan.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali dalam berbagai kesempatan menyampaikan, peristiwa di lingkup global yang perlu menjadi perhatian diantaranya adalah konflik yang sedang berlangsung di Gaza. TNI AL, tegasnya, berkomitmen untuk memberikan pengabdian terbaik dalam setiap tugas yang diamanahkan, terutama yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia maupun internasional seperti dalam hal ini bantuan kemanusiaan.

Sarana medis yang dimiliki oleh KRI 992 dr. Radjiman Wedyodiningrat di antaranya adalah ruangan UGD untuk pasien yang membutuhkan penanganan secara cepat. (VOA/Indra Yoga)
Sarana medis yang dimiliki oleh KRI 992 dr. Radjiman Wedyodiningrat di antaranya adalah ruangan UGD untuk pasien yang membutuhkan penanganan secara cepat. (VOA/Indra Yoga)

Keputusan Politik Negara

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Diandra Megaputri Mengko mengatakan berdasarkan UU TNI, semua misi internasional – termasuk misi kemanusiaan harus dilandaskan pada keputusan politik negara.

“Apa artinya? Itu adalah aturan presiden bersama-sama dengan DPR. Jadi nanti harapannya di keputusan politik negara ini akan ada berbagai macam misi yang jelas sampai misalnya misi mereka apa di sana? Sejauh mana kemudian mereka bisa terlibat dan lain-lain. Dan ketika ini adalah misi luar negeri, ini akan menjadi sangat signifikan karena segala risiko harus dihitung. Ada kaitannya dengan hubungan dengan negara lain. Jadi perlu ada kendali yang kuat juga dari otoritas sipil,” ungkap Diandra.

Ditambahkan Diandara, potensi risiko dari misi internasional ini juga cukup tinggi. Untuk itu, Indonesia dalam hal ini pemerintah dan pemangku kepentingan terkait harus berkoordinasi untuk melindungi semua personel yang sedang bertugas agar misi ini dapat berjalan dengan baik.

“Kemudian kemungkinan terjadinya kontak senjata dan lain-lain. Jadi itu harus terus berkoordinasi sama pusat. Jangan sampai ada salah info dengan negara lain, misalnya negara lain tidak mau terima nanti militernya datang, nanti banyak risiko,” kaya Diandra.

“Makanya di prinsip tata kelola militer itu untuk keputusan-keputusan seperti itu bukan berada di tangan komando, tetapi di tangan otoritas sipil karena itu keputusan politik, bukan keputusan taktis. Kapan dia harus engage, kapan dia harus kontak senjata, kapan dia harus diam, itu harus selalu dari pusat yang menentukan sikap,” pungkasnya. [Red]#VOA