Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku usaha yang melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin. Jika terbukti menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, pelaku dapat dijerat pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar (Pasal 98 dan 99 UU PPLH).
Warga juga mengungkapkan bahwa meskipun papan larangan aktivitas sementara telah dipasang oleh tim gabungan dari DLH, Satpol PP, dan Dinas Perizinan, kegiatan produksi di dalam pabrik masih berlangsung. Hal ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap instruksi penghentian sementara.
“Sudah jelas dilarang, tapi mereka tetap beroperasi. Kami merasa dilecehkan,” kata salah satu warga terdampak.
Dalam mediasi yang berlangsung alot, warga bersikukuh menuntut agar pabrik ditutup total atau dipindahkan ke lokasi lain yang tidak berdampak langsung pada pemukiman. Mereka juga menyoroti sikap aparatur desa yang dinilai lebih berpihak kepada pengelola pabrik daripada kepada warga.
“Kami terganggu oleh bau, suara kendaraan, dan air sumur yang tercemar. Kepala desa pun tidak membela kami,” ujar perwakilan warga yang diamini peserta mediasi lainnya.
Hingga mediasi ditutup, tidak ada kesepakatan yang tercapai. Warga menyatakan akan segera melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian dan menggugat secara hukum agar tuntutan mereka dipenuhi. [Mali]