Kemudian, kapal pengungsi Rohingya tersebut mencoba mencari daratan lain di wilayah Aceh Utara untuk berlabuh. Namun lagi-lagi kapal itu diminta untuk pergi. Husna pun menyayangkan penolakan untuk berlabuh terhadap kapal yang ditumpangi pengungsi Rohingya tersebut.
“Sebenarnya kalau mengikut pada peraturan internasional maupun yang tertera di Perpres Nomor 125 Tahun 2016 menyebutkan kalau ditemukan pengungsi itu otoritas setempat memang harus segera melakukan pertolongan. Seharusnya ini tidak perlu terjadi,” ujarnya.
Menurut Husna penolakan terhadap etnis Rohingya yang hendak berlabuh tidak akan terjadi apabila Indonesia memiliki peraturan yang komprehensif terkait penanganan pengungsi.
“Indonesia bisa meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Penolakan ini mungkin tidak akan terjadi karena warga merasa cukup aman untuk menerima pengungsi. Jadi kesalahan itu tidak diberikan kepada masyarakat yang menolak karena mereka awam dan penuh kekhawatiran. Tanggung jawab ini seharusnya diambil oleh pemerintah sepenuhnya,” ucapnya.
Sementara pengungsi Rohingya yang tiba pada 14-15 November telah ditempatkan sementara di kamp penampungan Mina Raya, Pidie.
Indonesia Tak Berkewajiban Tampung Pengungsi
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan Indonesia bukan pihak pada Konvensi Pengungsi 1951. Atas hal itu, Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut.
“Penampungan yang selama ini diberikan semata-mata karena alasan kemanusiaan. Ironisnya banyak negara pihak pada konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu,” demikian petikan keterangan tertulisnya.
Salah seorang pengungsi Rohingya dalam kondisi lemah saat tiba di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh, Kamis, 16 November 2023. (Courtesy: Polda Aceh)