Lebih jauh, ia menjelaskan akan berupaya terjun langsung ke lapangan untuk menjangkau kalangan muda. Dengan begitu, diharapkan akan lebih banyak aspirasi yang akan didengar untuk disampaikan kepada Ganjar-Mahfud.
“Kita mau berusaha untuk visi, misi, gagasan dari sosok Pak Ganjar dan Pak Mahfud untuk Indonesia yang unggul itu bisa diterima oleh semua kalangan, aksesibilitas. Bukan equality, tapi equity, yang mana berarti kita mendapat sumber daya yang bisa menghasilkan keselarasan,” jelasnya.
Ia berpendapat, tingkat kesetaraan yang dicapai dapat membuka ruang untuk berdialog yang lebih produktif. Dengan demikian anak-anak muda dapat memahami, mengkritisi, dan mengikuti perkembangan kebijakan yang diusulkan Ganjar dan Mahfud.
Gita meyakini langkah tersebut akan bisa menjangkau semua kalangan anak muda, dan diharapkan bisa membuat generasi muda ini tidak lagi apatis atau tidak peduli terhadap politik di Tanah Air.
“Jadi kita berpolitik, kalau dibilang politik berat, sebenarnya kita menghadapi persoalan yang lebih berat lagi, yakni tantangan di masa depan nanti. Kita sudah terbuai dengan adanya algoritma dari teknologi yang memang mempermudah tetapi di sisi lain punya dampak mendestruksi pikiran dan melihat ke depannya seperti apa,” katanya.
Eksploitasi Suara Generasi Muda
Pengamat Politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, menilai sejauh ini ketiga kandidat capres dan cawapres masih menjadikan suara-suara dari kalangan anak muda ini hanya sebagai alat untuk mencapai kemenangan.
Narasi yang ditampilkan, kata Airlangga, masih penuh dengan politik gimmick yang pada akhirnya hanya sekedar mengeksploitasi suara-suara dari generasi milenial dan generasi Z. Pada akhirnya politik gimmick tersebut tidak menghadirkan pesan mendasar terkait aspirasi atau kebutuhan dan kepentingan anak muda.
“Kita bisa menyaksikan menguatnya politik gimmick seperti misalnya joget-joget, flexing atau hal-hal yang sifatnya permukaan itu kelihatannya sekarang itu dominan tampil tanpa melihat substansi itu sendiri, sama sekali,” ungkap Airlangga.
Langkah dari para politisi tersebut, katanya, bukanlah tanpa sebab. Menurutnya, generasi muda yang identik memiliki adiksi dengan handphone cenderung dianggap sebagai generasi yang apatis, bahkan asosial. Padahal, dalam kenyataannya banyak generasi muda yang peduli dan kritis dengan masalah sosial seperti salah satunya masalah krisis iklim.