“Kalau ada pemilik media, yang pada saat yang sama menjadi caleg, atau menjadi ketua partai, atau juga mungkin kepala daerah, maka dia harus melakukan deklarasi, atau disclaimer, ini yang paling gampang,” kata Masduki.
Dalam kasus MNC Group dan Media Group, seharusnya ada pernyataan terbuka bahwa media-media di bawah keduanya, terafiliasi dengan partai A atau partai B, lanjut Masduki.
“Silahkan masyarakat yang mengambil sikap. Kita, sebagai pemilih,” tambahnya.
Langkah ini, sebagai upaya transparansi infomasi dan transparansi kerja jurnalistik dianggap sebagai jalan tengah. Pilihan terbaik adalah pemisahan yang jelas, yang dimulai dari kesadaran, bahwa partai politik yang baik adalah partai yang steril dari afiliasia ke media. Apalagi, regulator dan organisasi media di Indonesia berulangkali menyatakan untuk menganut prinsip independen, obyektif, dan imparsial. Dalam kaitan dengan politik, salah satu syaratnya adalah ada pemisahan jelas struktur politik mulai dari pemilik sampai jurnalisnya.
Secara teori, hubungan media dan politik memiliki sejumlah bentuk. Dalam sejarahnya, di Indonesia partai politik pernah memiliki media resmi, seperti yang terjadi di era 1950-an. Bahkan hingga akhir era Orde Baru, Golkar memiliki koran Suara Karya. Di bidang penyiaran, praktik ini tidak diperbolehkan bahkan secara internasional karena frekuensi adalah milik publik.
Masduki mengungkap, ada juga model komersial partisan, media yang dimiliki kelompok usaha mandiri tetapi menyatakan diri mendukung partai tertentu.
“Di Jerman, sejumlah media disana dikelola pebisnis murni, namun mengarahkan ideologi redaksinya pada satu partai tertentu,” kata Masduki yang menempuh doktoral di negara itu.
Jika dilihat dari model afiliasi, menurut penelitian PR2 Media yang didukung Internews dan USAID ini, ada empat klasifikasi di Indonesia. Pertama adalah afilisasi ekstrem.
“Kalau seorang pemilik media atau keluarganya sekaligus pemegang saham, kemudian komisaris, direksinya juga, tiba-tiba juga menjadi ketua partai. Tidak cukup, juga menjadi calon anggota DPR dan pada saat yang sama, punya afilisia dengan pejabat pemerintah di pusat atau daerah,” kata Masduki.
MNC Grup adalah contoh dari model ini, di mana Harry Tanoesoedibjo sebagai pemilik juga pengelola MNC, Ketua Perindo, saat ini menjadi caleg, anak tertuanya menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekraf, serta aktif menghimbau jurnalisnya maju sebagai caleg. Model semacam ini, bahkan diduga Masduki hanya ada di Indonesia.
Model kedua di bawah exstreme adalah strong, seperti yang terjadi di Media Group, di mana Surya Paloh sebagai pemilik dan pengelola juga menjadi Ketua Nasdem, anaknya Prananda Surya Paloh menjadi Ketua pemenangan Pemilu Nasdem dan anggota DPR 2019-2024, dan saat ini kembali menjadi caleg. Nasdem juga memiliki menteri di kabinet Jokowi.
Sedangkan model selanjutnya adalah moderate, yang tercermin dari seseorang yang ada di struktur penting di media, menjadi pengurus partai, caleg atau sedang menjabat sebagai anggota DPRD. Sedangkan terakhir adalah model weak, di mana banyak jurnalis menjadi caleg baik di DPR maupun DPRD.
Masalah yang Dianggap Bukan Masalah
Media massa sebenarnya diharapkan menjadi sumber informasi yang benar, independen, dan terverifikasi untuk publik. Peran itu semakin penting, di tengah ekosistem media sosial yang justru menjadi persoalan tambahan, karena potensinya untuk dijadikan alat kampanye.