Ilmuwan: Upaya Konservasi di Indonesia Terancam

“(Seharusnya) biarkan data yang berbicara, jangan kepentingan politik dan pencitraan yang menjadi driver bagaimana data penelitian itu dikemukakan ke publik. Kalau data mengatakan populasi orangutan menurun, seharusnya itu yang dikemukakan ke publik. Dengan begitu kita bisa mengambil langkah antisipatif yang lebih tepat,” kata Abdil.
Menanggapi pernyataan Tim Advokasi Kebebasan Akademik, KLHK — sebagaimana dikutip banyak media, termasuk Mongabay — belakangan mengatakan bahwa larangan terhadap lima ilmuwan tersebut dapat dibenarkan karena mereka “melanggar hukum,” mengutip undang-undang tentang sains dan teknologi tahun 2019 dan peraturan tahun 2006 tentang izin bagi orang asing untuk melakukan penelitian di Indonesia. Namun, dalam surat pengumuman larangan tersebut yang bocor ke media, tidak disebutkan bahwa kelima ilmuwan itu melanggar hukum.
KLHK mengatakan para ilmuwan itu “tidak memenuhi persyaratan dalam membangun kemitraan domestik; mekanisme kerja sama dengan mitra penelitian lokal tidak transparan; dan tidak melaporkan hasil penelitiannya.” Namun, kementerian itu tidak merinci proyek penelitian mana yang dilakukan para ilmuwan tersebut yang dianggap melanggar hukum.
VOA berusaha menghubungi Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugrah, untuk mendapat komentar dan penjelasan lebih lanjut namun hingga berita ini diturunkan tidak mendapat jawaban.
Menurut Abdil, kasus Meijaard bukan kasus pertama intervensi pemerintah dalam ilmu pengetahuan lingkungan. Pada tahun 2020, katanya, ilmuwan lingkungan David Gaveau dideportasi dari Indonesia setelah menerbitkan perkiraan tingkat kebakaran hutan yang jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan pemerintah.
Abdil bahkan meyakini, pembatasan penelitian oleh pemerintah sebetulnya sudah banyak dialami ilmuwan lokal sejak masa Orde Baru.
“Sayangnya di era demokrasi, praktik ini masih berlanjut,” ujarnya.
Sejumlah peneliti Indonesia, menurut Laurance, tidak jarang menolak untuk ikut menulis dengan tim internasional mengenai konservasi hutan karena kekhawatiran bahwa hal tersebut dapat berdampak negatif dan mempengaruhi pendanaan, izin penelitian, atau peluang kontrak komersial mereka di Indonesia.
Laurance, yang juga menjabat sebagai Direktur Center for Tropical Environmetal and Sustainability Science di James Cook University, mengatakan, sudah jadi pemahaman umum bahwa tingginya laju deforestasi di Indonesia menurunkan populasi spesies-spesies tersebut. Contoh nyata, menurut Laurance, tercermin dari dari populasi orangutan Tapanuli, badak Sumatra, gajah Sumatra, gajah Kalimantan dan harimau Sumatra.
Lebih jauh Laurance mengatakan, sikap tidak kooperatif pemerintah tidak bisa dibiarkan berlarut-larut mengingat hutan-hutan Indonesia berada dalam ancaman besar.
“Saya bayangkan hutan di Indonesia seperti samsak tinju, dipukul di sana sini pada saat bersamaan,” ujarnya.
Selain deforestasi yang menyusutkan habitat satwa liar, kata Laurance, hutan Indonesia juga kerap menjadi arena perburuan liar, dan kerap menghadapi fenomena alam yang disebut El Nino yang bisa menyebabkan kemarau dan kebakaran.
Terkait perburuan liar, menurut Laurance, banyak satwa liar– termasuk yang dilindungi – “dipanen” dari Indonesia oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan dijual ke luar negeri. Salah satu pasar utamanya adalah China, dengan barang yang diekspor termasuk trenggiling, cula badak, dan tulang harimau yang biasanya dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional.
Laurance memuji usaha pemerintah Indonesia menurunkan laju deforestasi secara signifikan, tetapi, menurutnya, itu bukan cerminan bahwa sejumlah satwa yang terancam dan sangat terancam secara otomatis meningkat populasinya.
Laurance menegaskan pentingnya menjaga ilmu pengetahuan yang independen. Tanpa itu pemerintah atau kelompok lain dapat sepenuhnya mengubah narasi dan menghasilkan realitas palsu tentang apa yang sedang terjadi. Realitas palsu mengenai kondisi hutan Indonesia dapat mempunyai dampak yang sangat nyata terhadap spesies yang terancam dan sangat terancam punah.