Saya minta ditunjukkan aturan hukumnya, namun tak bisa menjawab. Petugas itu masuk lagi agak lama. Ternyata meminta petunjuk ‘Bu Waka’, yang ditegaskan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Surabaya. Saya diminta membuat surat pengajuan ‘untuk dipertimbangkan’. Saya minta kepastian dari ‘Bu Waka’ atau siapapun yang berkompeten, bahwa permintaan saya dipastikan akan diberikan. Saya juga minta kepastian waktu.
Petugas itu masuk lagi, dan setelah itu saya ditemui Humas PA, Mustafa, di lobby. Aneh lagi, saya diminta membuat surat pengajuan sebagai langkah ‘KIP’ (Keterbukaan Informasi Publik). Saya perjelas lagi bahwa saya mewakili pihak Tergugat untuk mengambil salinan putusan. Titik. Kalau ditolak, saya minta alasan hukumnya. Akhirnya saya diberi salinan putusan yang saya minta.
Sebenarnya saya telah memprediksi dan bahkan ‘sudah tahu’ akan mendapatkan perlakuan demikian. Namun untuk memastikan, saya sengaja ‘menabrak’. Walau saya awam, tetapi puluhan tahun saya membantu permasalahan Hukum masyarakat dan mempelajari Hukum secara otodidak. Pemahaman Hukum saya, penolakan seperti itu tidak berdasar hukum, bahkan melanggar Hukum.
DASAR HUKUM JELAS DAN MASIH BERLAKU
Pasal 123 HIR (Herzien Inlandsch Reglement); “Jika pihak-pihak yang berperkara tidak datang menghadap sendiri, maka mereka boleh menyuruh orang lain dengan surat kuasa khusus untuk mewakilinya”.
Artinya, pihak yang bersengketa tidak wajib hadir sendiri dan dapat diwakili oleh siapapun, asal membawa Surat Kuasa Khusus yang sah, dan tidak harus Advokat.
Sebagai catatan, HIR (HIR Staatsblad 1941 No. 44) merupakan Aturan Hukum Acara Perdata dan Pidana, bagian dari Kitab Hukum Acara Perdata yang masih berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Dan sepemahaman saya, pasal 123 HIR tetap sah dan berlaku hingga kini, menjadi landasan utama kewenangan Kuasa Non Advokat dalam perkara perdata.
Selain itu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1959 menyebutkan; “Salinan putusan hanya boleh diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada wakilnya yang sah”.