Untuk tanaman singkong sendiri yang ditanam pemerintah lebih awal dari 2021 hingga 2023 sama sekali belum panen. Pemerintah sendiri, katanya mulai menanam kembali singkong ditambah jagung pada Oktober 2023.
Pada saat peninjauan terakhir pada 23 Januari, tinggi tanaman singkong itu baru sejengkal orang dewasa. Sementara untuk jagung, ia akui memang bisa tumbuh, tetapi kualitas dari jagung tidak layak untuk dikonsumsi karena sangat kering.
Maka dari itu, ia pun mempertanyakan klaim keberhasilan panen jagung dari Kementan beberapa waktu lalu tersebut.
“Jadi itu perlu dipertanyakan. Tidak tahu panennya yang sebelah mana. Lahannya memang ada, ada beberapa blok, setidaknya ada dua blok, yakni I blok A dan blok B, yang memang bisa dipanen tapi sudah kelewatan masa panennya. Dengan luasan itu, saya tidak yakin apakah angkanya per ton yang klaimnya itu 6,5 ton per hektare, itu patut dipertanyakan juga,” tuturnya.
WALHI menyarankan kepada pemerintah untuk tidak melanjutkan proyek food estate ini, karena berdasarkan fakta di lapangan, memang tidak pernah berhasil. Proyek yang diklaim untuk memperkuat ketahanan pangan nasional nyatanya malah menimbulkan berbagai permasalahan yang kompleks seperti konflik sosial dengan masyarakat setempat dan kerusakan lingkungan.
“Dampaknya sudah terlihat, proyek food estate di Kalteng dia merampas ruang hidup dan lahan tani masyarakat khususnya masyarakat adat. Jadi hutan yang sebelumnya jadi sumber penghidupan, sumber ekonomi dan lahan pertanian lokal, dikonversi menjadi lahan singkong. Hari ini selain konflik tadi ada juga bencana ekologis dan menyebabkan kerugian di pihak masyarakat khususnya petani,” tuturnya.
WALHI pun mendorong kepada pemerintah untuk segera menghentikan proyek food estate tersebut, dan melakukan pemulihan lingkungan di lahan-lahan food estate yang ada di seluruh Indonesia.
“Argumentasi mereka bilang bahwa ini masih bisa dilakukan, yakni menanam tanaman pangan di sana tetapi harus didukung dengan teknologi yang mumpuni karena mereka melihat misalnya di Timur Tengah, mereka bisa menanam di pasir. Tapi kan disini alokasi untuk pengembangan teknologi pertanian masih sangat-sangat kecil, dan itu perlu proses panjang. Dalam konteks pemenuhan pangan, tidak akan bisa tercapai malah akan banyak berdampak paling cepat yaitu kerusakan lingkungan,” pungkasnya. [Red]#VOA