“Biasanya kalau kita lihat pemda yang kerap kali menjadi semacam pekerjaan rumah, artinya beberapa pemda tidak bisa mengeksekusi belanja padahal kita tahu ketika misalnya pemerintah menyusun anggaran itu kan sudah diperhitungkan semua termasuk misalnya ketika pemerintah menarik pembiayaan melalui penerbitan surat utang. Jadi bahasa sederhananya ketika pemerintah sudah menarik utang baru, tetapi kemudian utang baru itu tidak bisa dieksekusi secara optimal. Jadi itu yang kemudian menurut saya bisa menjadi salah satu indikator terkait bagaimana pemerintah menjalankan efisiensi dalam APBN,” tuturnya.
Sementara itu, ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai defisit yang terjadi hingga November tersebut masih dalam batas aman.. Namun, ia menekankan jika belanja negara terus melonjak pada Desember ini, yang mana biasanya menjadi puncak pengeluaran dari berbagai program pemerintah, maka potensi pelebaran defisit masih akan terjadi.
“Proyeksi realistis menunjukkan defisit bisa mencapai sekitar 2,3-2,6 persen terhadap PDB, tetap di bawah ambang batas tiga persen terhadap PDB sesuai dengan UU APBN. Peningkatan defisit ini mencerminkan pengelolaan fiskal yang mendukung pemulihan ekonomi dan pembangunan, meskipun mengurangi ruang fiskal di masa mendatang,” ungkap Josua melalui pesan singkat kepada VOA.
Secara umum, ujarnya, kondisi fiskal tahun ini masih sehat meskipun belanja pemerintah cukup masif. Pendapatan negara, menurutnya, juga masih tetap tumbuh terutama yang bersumber dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), walaupun ada tekanan dari ekonomi global.
“Defisit di bawah batas maksimum (tiga persen dari PDB) menunjukkan disiplin fiskal tetap dijaga. Belanja diarahkan untuk mendukung investasi publik seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang memiliki efek positif jangka panjang. Namun, keberlanjutan fiskal tetap menjadi perhatian, terutama dengan kewajiban pembiayaan defisit melalui utang yang harus dikelola secara hati-hati,” pungkasnya. [Red]#VOA