Konstitusi memasukkan klausul tersebut dengan alasan “untuk memastikan representasi yang adil dan efisiensi.”
Anwar al-Bunni, salah satu pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Penelitian Hukum Suriah, mengatakan bahwa meskipun deklarasi konstitusional ini mencakup beberapa ketentuan yang menjanjikan—seperti pembentukan komisi untuk keadilan transisi serta pendirian partai politik dan asosiasi—tetap ada kekhawatiran besar yang perlu diperhatikan.
“Deklarasi ini melampaui perannya sebagai deklarasi konstitusional dan lebih menyerupai konstitusi mini, karena menetapkan nama republik, menunjuk Islam sebagai sumber utama hukum, serta mendefinisikan kekuasaan presiden—yang pada akhirnya melemahkan kehendak rakyat Suriah,” katanya.
Hal-hal seperti itu, katanya kepada VOA, harus diputuskan melalui referendum.
“Semua suku dan komunitas agama di negara ini menginginkan jaminan konstitusional,” kata al-Bunni. “Karena ini hanya dokumen sementara, penyusunan konstitusi permanen harus melibatkan diskusi menyeluruh tentang semua poin dan isu tersebut.”
Geir Pedersen, utusan khusus PBB untuk Suriah, dalam pernyataannya pada Jumat (14/3) mengatakan bahwa ia “berharap [deklarasi konstitusional] ini dapat mendorong Suriah untuk memulihkan supremasi hukum serta menjalani transisi yang inklusif dan tertib.”
Sejak kejatuhan Assad, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya terus menyerukan pemerintahan yang inklusif di Suriah, dengan jaminan perlindungan bagi semua kelompok etnis dan agama di negara itu. [Red]#VOA