Badrakhan mengatakan kepada VOA bahwa “tidak adanya penyebutan suku Kurdi, sebagai kelompok etnis terbesar kedua di negara ini, maupun suku Asyur, salah satu masyarakat adat tertua di Suriah, menunjukkan penolakan yang jelas terhadap identitas multikultural Suriah.”
Definisi dan Batasan
Konstitusi mendefinisikan Suriah sebagai republik Arab dan menetapkan bahwa presiden harus beragama Islam. Selain itu, konstitusi membatasi pengakuan resmi hanya pada “agama-agama samawi,” yang merujuk pada agama Kristen, Islam, dan Yahudi.
“Ini secara efektif mengabaikan pengakuan terhadap beberapa komunitas agama yang telah lama ada di Suriah, termasuk Yazidi dan Druze,” kata Badrakhan. “Seiring waktu, ketentuan ini juga bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk mengecualikan sekte Ismailiyah dan Alawi [dari Islam Syiah] dari pengakuan resmi.”
Menurut CIA World Factbook, warga Arab merupakan 50 persen dari hampir 24 juta penduduk Suriah, sementara warga Alawi, Kurdi, dan Kristen mencakup 35 persen. Sisanya terdiri dari warga Druze, Ismaili, serta kelompok etnis dan agama lainnya.
Ada juga kekhawatiran bahwa konstitusi sementara memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada presiden sementara dan mendorong ideologi Islamis. Al-Sharaa dan HTS merupakan kelompok Islamis yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat.
“Konstitusi mengatakan ada pemisahan antara cabang-cabang pemerintahan, tetapi itu jelas salah,” kata Sarbast Nabi, profesor filsafat politik di Universitas Koya di Kurdistan Irak.
“Pasal 24 memberikan presiden wewenang untuk menunjuk 20 persen anggota parlemen transisi, yang menunjukkan kurangnya pemisahan antara cabang eksekutif dan legislatif,” katanya kepada VOA, seraya menambahkan bahwa dokumen tersebut “tidak akan membawa stabilitas di Suriah.”