RUU Penyiaran juga merugikan publik karena melarang tayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Padahal, laporan investigasi mampu membongkar kejahatan yang merugikan kepentingan publik. RUU Penyiaran juga mengubah ketentuan mengenai wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan menjadi isi siaran jurnalistik harus sesuai dengan pedoman perilaku penyiaran dan standar isi siaran.
“Civil society harus mengawal. Jejaring akademisi, NGO harus segera merumuskan agenda untuk mencegah aneka pasal selundupan. Jangan sampai berakhir dengan mundurnya demokrasi,” kata Fachrudin.
Fachrudin mendesak RUU Penyiaran dibatalkan karena merugikan rakyat. Apalagi, banyak undang-undang yang bermasalah seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, disusul RUU MK, RUU Polri dan RUU TNI. Peraturan perundang-undangan tersebut, katanya, menjadi tanda kehadiran rezim totaliter.
Dosen komunikasi Universitas Negeri Malang Akhirul Aminullah menilai RUU Penyiaran justru menjadi alat pembungkaman seperti rezim Order Baru. Penyiaran dikontrol, dikendalikan melalui KPI. Selain itu, sengketa isi siaran yang dilakukan KPI justru mengerdilkan fungsi Dewan Pers. “Sesuai UU Pers, sengketa jurnalistik kewenangan Dewan Pers,” katanya.
Jangan-jangan, kata Akhirul, penguasa ketakutan dengan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. RUU Penyiaran, berpotensi menjadi rezim otoritarian dengan mengebiri pers.
Sineas Sudjane Ken menilai platform digital sepeti YouTube dan layanan Over The Top (OTT) sebagai wadah kreator audio visual. Banyak yang diuntungkan dengan platform tersebut. Secara ekonomi, mereka mendapat pemasukan dari platform tersebut. Sedangkan kehadiran KPI yang berwenag mengeluarkan tanda lulus kelayakan siaran akan mengancam mereka.
“Jika RUU Penyiaran lolos, akan banyak pengangguran. Banyak kreator konten yang bakal kehilangan pekerjaan,” ujarnya.