JAKARTA (DN) – Generasi milenial, dan generasi Z kerap kali menjadi sasaran empuk para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang bertarung dalam Pemilu 2024. Tidak heran, karena 56 persen dari total suara yang diperebutkan berasal dari generasi muda tersebut.
Pertanyaannya, apakah aspirasi generasi penerus bangsa ini akan benar-benar akan didengarkan, ataukah hanya dianggap sebagai ‘komoditas’ untuk mencapai kursi kepemimpinan tertinggi di negara ini?
Keresahan tersebut disampaikan oleh salah satu generasi Z Emanuel Prasetyo dalam acara Milenial Bertanya Anti-Gagal, di Jakarta, Jumat (8/12). Prasetyo yang juga tergabung dalam organisasi Banteng Muda Indonesia dan Satuan Relawan Ganjar se-Indonesia mengatakan generasi muda dalam setiap pemilu sering kali tidak paham dengan gagasan-gagasan yang disampaikan oleh masing-masing pasangan calon (paslon) yang sedang bertarung.
“Artinya begini, yang namanya segmen generasi muda lebih ingin kepada suatu aksi nyata,” kata Prasetyo.
Contohnya, imbuh dia, tim pemenangan atau juru bicara dapat bertemu dan berdialog secara langsung dengan komunitas anak muda untuk memahami tantangan yang dihadapi dan mencari solusi bersama.
Keresahan tersebut pun dijawab langsung oleh Juru Bicara Milenial Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Gita Permata Siregar. Ia menegaskan, generasi milenial dan generasi Z bukanlah sekadar alat untuk meraih kemenangan semata.
“Jadi bagi saya adalah pemilih anak muda ini bukan komoditas. Mereka ini adalah pemeran utama,” kata Gita.
Hal tersebut, menurutnya, bisa dilihat dari survei-survei yang banyak dilakukan lembaga survei politik yang menunjukkan bahwa gen Z dan milenial adalah kaum yang mendominasi pada pemilu tahun depan.
Ironisnya, kata Ghita, banyak pemilih muda yang belum begitu peduli apa itu politik secara ideologis. Kebanyakan mereka masih melihat politik dari sudut pandang dampak atau segi praktis. “Saya sebagai jubir, berusaha juga untuk mendesiminasi dan menyebarkan gagasan-gagasan,” ungkap Gita.